Indeks Saham Jatuh: Kesehatan Ekonomi Indonesia yang Terabaikan

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot sebesar 7% hingga mencapai angka 6.011 selama sesi trading hari Selasa (18/3), sementara pasar saham lainnya di kawasan Asia sedang naik daun.

.

Apakah kondisi perekonomian Indonesia saat ini memprihatinkan?

Performa ekonomi di awal dua bulan tahun ini belum memberikan indikasi positif. Deflasi terjadi pada indeks harga konsumen, sementara impor barang-barang untuk konsumsi turun drastis. Ditambah lagi dengan penurunan pendapatan negara yang signifikan, semua hal tersebut menciptakan keraguan tentang situasi ekonomi sepanjang tahun ini.

Daya Beli Masyarakat Lesu

David Sumual, kepala ekonom BCA, mengamati bahwa kemampuan pembelian publik telah merosot di awal tahun 2025. Hal tersebut dapat dilihat dari penurunan impor barang konsumen selama dua bulan pertama tahun ini.

Di samping itu, ia mengatakan bahwa insentif dari pemerintah yang menyediakan potongan harga listrik tidak terlalu berguna karena bersifat sementara. David mencatat bahwa efisiensi anggaran juga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh adanya periode penyesuaian saat merelokasikan program lama ke program baru.

“Peluang ekonomi berkembang kurang dari 5% di semester awal tahun 2025,” demikian pernyataan Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, pada hari Selasa (18/3).

Direktur Ekonomi di Center for Economic and Law Studies alias Celios, Nailul Huda mengatakan bahwa peningkatan rendah dalam kemampuan pembelian publik dapat dilihat dari Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) milik Bank Indonesia yang bergerak lambat walaupun tetap tumbuh selama dua bulan awal tahun ini.

Bank Indonesia menyatakan bahwa kepercayaan konsumen terhadap situasi ekonomi di Februari 2025 menurun dari angka 127,2 di bulan sebelumnya hingga mencapai 126,4. Penurunan ini lebih disebabkan oleh penurunan indeks harapan konsumen walaupun tetap dalam zona yang menggambarkan sikap positif.

Kekuatan pembelian publik yang menurun terlihat pula dalam statistik indeks harga konsumen yang mencatatkan deflasi untuk dua bulan beruntun walaupun disebut-sebut akibat pengurangan tariff listrik. Sebelumnya, BPS melaporkan adanya deflasi sebesar 0,76% di January dan 0,48% di Februari tahun 2025.


Penerimaan Perpajakan Lesu, Defisit Anggaran Negara Meningkat

Kebijakan anggaran penerimaan dan pengeluaran nasional alias APBN pun menarik perhatian para investor. Menurut catatan dari Departemen Keuangan, capaian penerimaan negara sampai dengan bulan Februari 2025 tercatat sebesar Rp 316,9 triliun, mengalami penurunan sekitar 20,8% jika dibandingkan dengan jumlah pada periode serupa di tahun sebelumnya yakni mencapaiRp 400,36 triliun.

Kolektabilitas pajak sebagai sumber utama pendapatan negara mengalami penurunan kira-kira 25%. Menurut data dari Kementerian Keuangan, sampai dengan akhir bulan Februari tahun 2025, total penerimaan perpajakan tercatat senilai Rp 240,4 triliun, ini adalah angka yang lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah pada periode waktu serupa di tahun sebelumnya yaitu Rp 320,6 triliun.

Performa terburuk ada di sektor perpajakan. Menurut catatan dari Kementerian Keuangan, pendapatan pajak untuk bulan Februari 2025 hanya mencapai angka Rp187,8 triliun, mengalami penurunan sebesar 30,19% bila dibandingkan dengan periode serupa di tahun sebelumnya.

Ekonom dan Ahli Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan bahwa pencapaian dalam hal pendapatan pajak dapat dianggap sebagai indikator untuk melihat bagaimana kondisi ekonominya saat ini. Meskipun demikian, dia berpendapat bahwa penurunan pada pendapatan pajak harus diperhatikan dengan seksama. “Apabila kegiatan ekonomi sedang lesu, umumnya akan terjadi penurunan pada pendapatan pajak penghasilan (PPh) serta pajak pertambahan nilai (PPN),” ungkap Hidayat.

Menurutnya, pengurangan pendapatan pajak terjadi karena gagal menerapkan sistem Coretax, tidak hanya dikarenakan perlambatan ekonomi. Oleh sebab itu, berkurangnya pendapatan pajak ini tak cuma dipicu oleh kinerja ekonomi yang kurang baik, tapi juga akibat kesulitan dalam aspek administrasinya.

Penurunan kinerja pendapatan negara mengakibatkan defisit anggaran sebesar Rp 31,2 triliun pada dua bulan awal tahun ini. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di masa serupa tahun lalu yang menunjukkan adanya surplus senilai Rp 26 triliun.

Asing Kurang Optimis tentang Perekonomian Indonesia


Bank-bank investasi global seperti Goldman Sachs Group Inc. dan Morgan Stanley juga mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang situasi ekonomi di Indonesia dengan cara menaikkan peringkat pasar sahamnya. Seharusnya ini membaca penyesuaian:

Bank-bank investasi global seperti Goldman Sachs Group Inc. dan Morgan Stanley juga menjadi lebih skeptis terhadap kondisi perekonomian Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh pengurangan peringkat pasar saham Indonesia yang dilakukan oleh kedua institusi tersebut.

Goldman Sachs menurunkan penilaian saham Indonesia dari overweight atau sebaiknya dibeli menjadi

market weight

atau bersifat netral. Sementara itu, Morgan Stanley Capital International atau MSCI mengurangi peringkat pasar saham Indonesia dari

equal weight

menjadi

underweight.

Analisis dari Morgan Stanley menyatakan bahwa ketidaktentuan dalam kebijakan fiskal Indonesia, kenaikan tingkat suku bunga oleh Federal Reserve AS, serta penguatan nilai tukar dollar AS dapat membawa potensi ancaman terhadap investasi di pasar saham domestik.

Sebaliknya, Fitch Ratings menjaga peringkat hutang Indonesia tetap pada tingkatan BBB.

outlook

Stabil. Meski demikian, Fitch menggarisbawahi beberapa tantangan yang harus dipertimbangkan, termasuk pola pertumbuhan rasio hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang diperkirakan akan naik ke level 40,4% pada tahun 2025 dari kisaran angka 38% pada tahun 2024.

Fitch juga mengestimasi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan merosot hingga 5% di tahun 2025 dan 4,9% di tahun 2026.

Perlambatan perekonomian Indonesia pun diperkirakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Institusi tersebut mengurangi perkiraan pertumbuhan ekonomi di tahun ini dari sebelumnya 5,2% menjadi 4,9%, serta menaikkan prediksinya untuk pertumbuhan ekonomi berikutnya dari angka 5,1% hingga ke level 5%.