Bangjo.co.id – Kemunculan persaingan usaha yang merugikan lagi terlihat di Pasar Wates, Kelurahan Wates, Kapanewon Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Beberapa puluh penjual ayam yang menjual barang dagangan mereka di pasar tersebut dipaksa untuk bertindak keras agar bisa menghalau satu orang penjaja ayam yang memberikan tarif sangat rendah, tidak jauh dari ujung pasar.

Pada saat bulan Ramadhan, ketika harga daging ayam berada di kisaran Rp 34.000 sampai Rp 35.000 per kilo, kedatangan penjual yang menawarkan ayam dengan harga hanya Rp 28.000 per kilo dianggap cukup mengganggu.

Akibatnya, konsumen berpindah sehingga pedagang-pedagang lain menjadi kesepian dalam hal penjualan dan mengalami kerugian.

“Pendapatan kita berkurang sekitar 50-60 persen. Dampaknya sangat dirasakan (selama Ramadhan),” ujar Zidni Rochman, Ketua Paguyuban Pedagang Ayam Bakar Wates, ketika diwawancara pada hari Senin (11/3/2015).

Zidni menyebutkan bahwa cuma seorang pedagang saja yang menawarkan harga rendah untuk ayam itu.

Pedagang tersebut, yang menyatakan dirinya berasal dari Bantul, sudah berdagang di tempat itu untuk beberapa hari terakhir.

Walaupun para pedagang sudah mengajukan keluhan ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kulon Progo, sayangnya, respon dari pihak berwenang belum memadai.

“Para pedagang cemas sebab penawaran harganya sangat rendah dibandingkan dengan harga standar,” ungkap Zidni.

Mereka pun membalas dengan memberi peringatan pada sang pedagang. Namun, saat pesan tersebut diabaikan, mereka berkumpul bersama sekitar 30 orang untuk menyingkirkan si pedagang tersebut.

“Kami sebagai kelompok bersama-sama memutuskan untuk mencegah pihak eksternal mengacaukan nilai tukar di Wates. Semua pedagang kami mengalami penurunan pengunjung, sementara mereka telah terjual sebelum pukul 08:00,” ungkapnya.

Zidni menginginkan pemerintah bisa melakukan investigasi yang lebih mendalam tentang kasus tersebut untuk mencegah dugaan praktik tak adil, termasuk potensi keberadaan ayam ilegal. Dia menambahkan, “Mereka bertanya-tanya, kenapa harganya begitu? Mencurigai apakah ada ayam curian.”

Sri Wahyudi, yang merupakan peternak ayam berumur 25 tahun asal Pleret, Kabupaten Bantul, menyatakan dirinya hanyalah seorang pekerja dalam bisnis pedagingan unggas.

Dia yang secara kebetulan ditugaskan untuk berjualan di area Pasar Wates setiap harinya, mulai dari Subuh sampai stok dagangannya ludes.

Wahyudi menyatakan bahwa dia menawarkan barang dagangannya di sebuah meja yang terletak di halaman rumah kosong, kurang lebih 10 meter jauhnya dari tembok pasar.

Dia dapat menjualan kira-kira 50 kilogram ayam setiap hari dengan harga antara Rp 30.000 sampai Rp 32.000 per kilonya.

Uniknya, Wahyudi merasa ditolak oleh pedagang di pasar Wates, namun di pasar Jombokan, tempat dia menerapkan harga serupa, ia tak menemui kendala apa pun.

Menurut katanya, dia mengganggu keseimbangan harga pasarnya. Awalnya berjualan di tempat itu dilarang, lalu dipindahkan ke sini tapi masih saja dilarang. Dia hanya tahu untuk membawa ayam, datang, dan menjual barangnya disini,” ujar Wahyudi, merasa kebingungan dengan kondisi tersebut.

Pada akhirnya, karena tindakan pedagang di pasar, Wahyudi dipaksa untuk pergi dari tempat itu.

Merespons keadaan tersebut, Edi, yang merupakan Staf Bidang Usaha Perdagangan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kulon Progo, meratifikasi terjadinya insiden serupa di Pasar Wates dengan penyesalan.

Menurut dia, permasalahan tersebut harus bisa diatasi lewat komunikasi yang efektif dan mendalam di antara para pedagang. Dia menegaskan bahwa situasi yang salah ialah jika harga kebutuhan dasar meningkat. Hal itu sangat merugikan untuk publik,” kata Edi ketika melakukan pengecekan di pasar.

Dia juga menekankan kepentingan memelihara komunikasi yang damai di kalangan pedagang supaya peristiwa seperti itu tidak berulang.