Bangjo.co.id – SESUATU KALI, saya merasa kurang mengerti tentang Ramadan. Untuk sebagian besar orang, bulan ini merupakan periode yang wajib dilalui, mirip dengan petualangan berkala yang terjadi setiap tahun tanpa bertanya lagi tujuannya.
Kami menyegerakan untuk sahur sambil mata masih setengah terbuka, kemudian melanjutkan hari dalam keadaan ngantuk dan perut kosong, baru pada akhirnya membuka puasa dengan nafsu sebelum tidur lebih cepat daripada biasanya. Namun suatu malam, saat sedang dalam perjalanan pulang usai sholat tarawih, sebuah pertanyaan mulai membebani pemikiranku: Adakah makna di balik segala ini?
Menurut konsep eksistensialis Rollo May, banyak orang menghadapi “hidup neurotik,” di mana mereka melakoni kebiasaan harian tanpa pemahaman tentang arti yang sesungguhnya. Mungkin saja aku termasuk golongan itu. Bulan Ramadhan, yang idealnya digunakan untuk introspeksi diri, malah tampak kosong bagiku. Aku melakukan puasa secara fisik, namun otakku masih dipenuhi dengan aktivitas-aktivitas biasa dunia luar.
Kecemasan Eksistensial
Rollo May (1909–1994), dalam karyanya “The Courage to Create,” mendiskusikan mengenai “ketakutan eksistensial,” yakni rasa cemas yang timbul saat individu menyadarinya sendiri tidak sempurna. Akan tetapi, ini berbeda dari ketakutan neurotik yang membuat orang menjadi lumpuh; sebaliknya, ketakutan eksistensial malah memotivasi seseorang untuk menemukan tujuan hidup mereka.
Dalam situasi Ramadan, ketakutan fundamental ini dapat timbul minimal dalam 4 format. Format pertamanya merupakan “Rasakan Kekhawatiran tentang Makna Hidup”. Bulan Ramadhan mengajarkan introspeksi dimana banyak individu memulai serangkaian pertanyaan seperti, “Adakah tujuan dari kehidupanku saat ini?” atau “Pernkah aku mencapai perkembangan sebagai manusia?”. Pengetahuan tersebut kadang-kadang merangsang rasa gelisah sebab kita sadar masih terdapat begitu banyak aspek yang butuh peningkatan pada diri sendiri.
Seorang profesional yang setiap hari terpaku pada aktivitas perkantorannya dan tak punya waktu untuk memikirkan dimensi rohaninya, secara mendadak merasa cemas saat bulan Ramadhan datang. Dia mulai berpikir apakah pencapaian finansial yang dia buru-buru sejati membawakan kebahagiaan baginya ataukah ada hal-hal penting lain dalam hidup yang telah lama dilupakan olehnya, misalnya ikatan dengan anggota keluarganya atau peran serta dirinya dalam memberdayakan komunitasnya.
Meskipun demikian, sang psikolog eksistensialis dari Amerika Serikat ini berpendapat bahwa rasa cemas tersebut dapat mendorong kita untuk mencari makna baru dalam hidup, daripada hanya sekadar dicegah. Selama bulan Ramadhan, banyak individu justru memilih untuk meningkatkan perhatiannya terhadap ibadah, hubungan dengan anggota keluarga, serta interaksi sosial lainnya sebagai cara merespons ketakutan akan hal tersebut.
Kedua, yaitu “Keberatan terhadap kebebasan dan kewajiban”. Selama bulan Ramadhan, individu diminta untuk menahan diri dari berbagai hal yang bisa menjadi pengganggu, bukan hanya soal makanan dan minuman, tapi juga kemarahan, pembicaraan negatif, serta tingkah laku tak baik lainnya. Ini adalah titik di mana hak prerogatif manusia dites. Dalam situasi ini, kita sadar akan adanya opsi: apakah harus mendengarkan dorongan naluriah atau justru memilih kendali atas diri sendiri.
Inisiatif ini dapat menciptakan ketidaknyamanan, karena kita sadar bahwa beban dari setiap keputusan berada di pundak kita masing-masing. Bulan Ramadhan mendidik kita bahwa kemerdekaan sesungguhnya tidak hanya terletak pada kemampuan untuk melaksanakan segala yang kita dambakan, namun dalam pemilihan hal-hal yang tepat dan bernilai.
Di dalam bukunya “Meresahkan Bicara”, Emha Ainun Nadjib atau dikenal sebagai Mbah Nun menyampaikan, “Seseorang yang berpuasa harus dapat melepas diri dari ikatannya dengan dunia. Namun, apabila ibadah puasa hanya dipraktekkan untuk memenuhi tuntutan saja, kita masih akan tersandera oleh belenggu dunia tersebut.”
Ketiga, “Kecemasan atas batas kemampuan dan ketidaktahanan dalam hidup.” Bulan Ramadhan mengajarkan kita tentang keterbatasan manusia. Di saat Ramadhan tiba, hal ini kerap membuat kita berpikir tentang kematian serta kehidupan selepasnya, yang dapat memicu rasa cemas mendalam seputar nasib kita di alam baka tersebut.
Lansia yang menghabiskan bulan puasa saat kesehatannya terus merosot mulai bertanya dalam hatinya, “Ada berapa kali lagi aku dapat melaksanakan Ramadan ini?” atau “Sudahkah aku bersiap sepenuhnya bagi kehidupan selepas ajalku?” Tany-tanya tersebut mungkin menciptakan rasa cemas, namun mereka juga bisa jadi motivasi agar melakukan lebih banyak perbuatan baik serta menggunakan sisa waktumu secara lebih bijaksana.
Keempat, “Kecemasan Menghadapi Perubahan”. Bulan Ramadhan kerap kali menciptakan dorongan bagi seseorang untuk melakukan transformasi. Misalnya, ingin menjadi lebih teratur, bersabar, atau mendekati Tuhan dengan cara yang lebih intim. Akan tetapi, proses ini tak selamanya mulus dan tanpa hambatan. Terdapat rasa cemas tentang kemampuan kita menjaga kebaikan-kebaikan baru tersebut ketika bulan suci telah usai, serta khawatir akan kembali pada pola perilaku sebelumnya.
Seorang individu yang pada bulan Ramadhan menjadi lebih tekun dalam membaca Al-Quran serta menjalankan sholat Tahajjud merasa cemas bahwa usai berakhirnya Ramadhan, motivasinya akan memudar dan dirinya akan tergelincir kembali ke pola hidup sebelumnya. Dia prihatin apakah perkembangan positif yang telah dimulainya saat Ramadhan hanyalah sesaat saja.
Berdasarkan pendapat Rollo May, kekhawatiran seperti itu merupakan indikasi bahwa individu tersebut tengah mengalami perkembangan. Ketakutan terhadap transformasi mencerminkan adanya aspek dalam diri kita yang berkeinginan untuk maju.
Mengelola Kecemasan
Menurut Rollo May, kekhawatiran esensial tak seharusnya kita hindari melainkan ditangani dan disikapi dengan penuh kesadaran serta kebrlian. Di bulan Ramadhan, hal serupa bisa dirasakan dalam beberapa wujud, mulai dari pertanyaan tentang tujuan hidup, meneguhkan komitmen dan tanggung jawab, merenungi batasan-batasan manusia, sampai ketakutan akan transformasi. Akan tetapi, Ramadhan pun membuka peluang bagi umat Muslim untuk menjalankan strategi penanganan atas rasa cemas itu.
Satu metode ampuh untuk mengontrol rasa cemas tentang makna hidup adalah dengan menerapkan pembaruan pikiran (mindfulness) pada tiap gerakan. Bulan Ramadhan pun menyampaikan prinsip serupa lewat praktik puasa, dimana individu diajari untuk menahan diri serta tak langsung bersikap tanpa pertimbangan atas hasrat atau perasaannya. Saat seseorang merasa lapar, marah, atau tertarik untuk melaksanakan hal-hal negatif, bulan Ramadhan menciptakan ruang bagi mereka untuk berdiam sebentar, bernapas panjang, lalu memutuskan respon yang lebih tepat. Melalui latihan membuat henti sebelum bertindak, orang tersebut bukan saja sedang membina kendali diri, tapi juga mendapatkan ilmu bagaimana menghadapi keresahan dengan sikap damai dan sadar akan situasi.
Di luar pemahaman diri, menerima keterbatasan hidup turut menjadi elemen penting dalam mengatur kekhawatiran seputar esensi kehidupan. Bulan Ramadhan membawa pengertian bahwa setiap orang mempunyai pembatasan, termasuk di bidang fisikal dan durasi waktu yang diberikan dalam perjalanan hidup mereka. Sadarilah betapa singkatnya umur dapat menciptakan rasa cemas berkaitan dengan akhir hayat atau apakah kita sudah melaksanakan tugas dengan benar. Sebaliknya dari tenggelam pada ketidaktahuan, individu tersebut dapat merujuk kepada pengetahuan itu sebagai motivator untuk menjalankan ibadah sedekah senantiasa, yaitu bentuk budi pekerti yang masih memberikan faedah bahkan sesudah sang pelaku tidak lagi ada.
Dengan mengedepankan dampak positif yang dapat bertahan lama, seperti menyebarkan pengetahuan, mendukung orang lain, atau menciptakan hal-hal bernilai. Rasa cemas akan ketidakkaburan pun bisa berganti menjadi dorongan untuk menjalani hidup dengan lebih signifikan.
Banyak individu khawatir pula bahwa usai bulan Ramadhan, mereka akan kembali pada pola perilaku lama serta hilangnya peningkatan positif yang sudah ditempuh. Hal tersebut merupakan emosi yang normal mengingat pergantian biasanya membutuhkan upaya ekstra untuk dijalani. Menurut pemikiran Rollo May, transformasi sungguh-sungguh tak datang dengan mudah atau mendadak, namun melibatkan tahapan-tahapan konsisten selama periode waktu.
Dengan demikian, tak perlu memaksa diri untuk serta-merta melanjutkan semua rutinitas Ramadan sepenuhnya ketika bulan suci telah usai. Justru lebih baik bermula dari mengadopsi perilaku kecil yang masuk akal dan dapat dipertahankan, misalnya terus menyimak satu halaman Al-Quran tiap harinya atau masih bertahan pada sikap peduli kepada orang lain walaupun tidak sedekat di masa Ramadan.
Melalui metode ini, ketakutan akan perubahan dapat diatasi dengan efektif, sebab individu tidak merasa perlu mengalami pergantian yang ekstrem, namun bisa melakukan hal tersebut secara bertahap dan pelan-pelan.
Dukungan sosial sangat penting untuk membantu individu menavigasi kekhawatiran esensial saat Ramadan. Tergabung dalam kelompok dengan prinsip serta aspirasi sejalan dapat mendorong pemeliharaan perilaku positif yang terbentuk selama masa ibadah tersebut. Apabila seseorang dilindungi oleh lingkaran orang yang merangsang perkembangan mereka, stres akibat pergantian atau ketidaktetapan dalam hidup pun bisa dikurangi.
Dalam agama Islam, prinsip persaudaraan ini diutamakan, seperti contohnya pada sholat jemaah, membuka puasa bersama, ataupun aktivitas sosial saat bulan Ramadhan. Kegiatan-kegiatan tersebut tak sekadar guna mendekatkan diri kepada orang lain, namun juga bertujuan memberikan dukungan secara emosi dan rohani sehingga individu tidak merasa kesepian ketika menghadapi ujian sepanjang hayat mereka.
Di penghujung hari, bulan Ramadhan tidak sekadar berkutat pada penahanan rasa lapar dan dahaga, melainkan juga peluang untuk memperbaiki cara menghadapi ketakutan fundamental dalam hidup secara lebih arif. Dengan menyambut ketidaknyamanan ini sebagai elemen tak terpisahkan dari perkembangan diri, individu dapat menggunakan Ramadhan sebagai fondasi menuju kehidupan yang penuh makna.
Alih-alih memandang ketakutan sebagai hambatan, orang tersebut dapat menggunakan emosi itu sebagai tenaga penggerak untuk perubahan, pertumbuhan, serta meraih hidup dengan kesadaran dan keberanian yang lebih besar. Hormat saya!