Scroll Untuk Lanjut Membaca

 

SURABAYA, Bangjo.co.id Perselisihan ketenagakerjaan mencuat antara seorang mantan staf pelayanan doa, Martina, dengan pihak Yayasan Gereja Mawar Sharon (GMS) Surabaya. Martina yang telah mengabdi selama hampir 20 tahun mengaku diberhentikan secara sepihak tanpa dasar hukum yang jelas. Didampingi kuasa hukumnya, Agustinus Nahak, SH, MH, ia mengambil langkah hukum demi mendapatkan keadilan dan pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja.

 

Agustinus menjelaskan bahwa awalnya mereka mencoba menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan pada 10 April 2025. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil lantaran pihak yayasan menolak untuk berdiskusi dan justru meminta agar persoalan ini ditangani melalui kuasa hukum.

 

“Klien kami, Ibu Martina, bekerja di Yayasan Gereja Mawar Sharon Surabaya sebagai staf Prayer Ministry selama hampir 20 tahun. Selama itu pula, tidak ada kontrak kerja yang diberikan, gaji yang diterima di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya, tidak ada BPJS, dan saat dipecat tidak ada teguran atau pelanggaran yang terbukti dilakukan,” ungkap Agustinus.

 

Martina bahkan sempat ditekan untuk menandatangani surat pengunduran diri, namun ia menolak. Belakangan, ia menerima surat pemecatan yang menurut Agustinus tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Martina melakukan pencemaran nama baik terhadap gereja. Namun, Agustinus membantah keras tuduhan tersebut.

 

“Martina adalah pelayan doa. Tidak mungkin ia mencemarkan nama gereja yang selama ini ia layani. Bahkan, tuduhan pencemaran itu tidak pernah diproses secara hukum. Tidak ada laporan polisi, tidak ada putusan pengadilan. Jadi tuduhan itu sangat lemah dan tidak berdasar,” tegasnya.

 

Lebih lanjut, Agustinus menyebut bahwa sebelum pemecatan dilakukan, sempat ada komunikasi yang bernada tekanan secara verbal dari pihak yayasan kepada Martina. Bahkan, bukti berupa voice note berisi kata-kata tidak pantas dari pimpinan yayasan sudah diamankan sebagai barang bukti jika proses hukum terus berlanjut.

 

Pihak kuasa hukum juga telah mengirimkan somasi kepada yayasan, serta menyampaikan tembusan surat ke berbagai instansi, antara lain Gubernur Jawa Timur, Wali Kota Surabaya, Kapolda Jatim, Polrestabes Surabaya, Menteri Ketenagakerjaan, Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan Kota Surabaya, serta Ketua DPRD di tingkat kota dan provinsi.

 

“Negara kita adalah negara hukum, bukan negara omongan. Hak-hak pekerja harus dilindungi. Kalau tidak dipenuhi, maka langkah hukum baik perdata maupun pidana akan kami tempuh,” tegas Agustinus.

 

Pihak kuasa hukum menyatakan masih membuka ruang mediasi jika yayasan bersedia duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini secara adil. Namun jika tidak, proses hukum akan terus berjalan demi memperjuangkan hak-hak kliennya.(Vip)