Oleh: Buya Anwar Abbas*)
Saat ini, telah lewat 45 tahun semenjak meninggalnya Drs Mohammad Hatta. Dia adalah Wakil Presiden RI yang pertama dan dia meninggalkan dunia pada tanggal 14 Maret 1980. Usianya ketika itu mencapai 77 tahun.
Bung Hatta meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta usai menjalani perawatan selama 11 hari. Sebelum menghembus napas terakhir, ia sempat menyampaikan wasiat agar jasadnya tidak dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tetapi di tempat pemakaman biasa yaitu Tanah Kusir, yang ada di Jakarta Selatan.
Tokoh Bung Hatta bagi rakyat Indonesia sungguh tak mudah untuk terlupakan. Karena, besar sekali pengaruh serta sumbangsih yang sudah ia beri dalam mendukung kemajuan jalannya bangsa dan negara kita.
Beliau lah yang menetapkan prinsip-prinsip penting yang perlu kita sandangkan terkait pengelolaan perekonomian di Indonesia. Ide-ide beliau tersebut direfleksikan dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945.
Di dalam Pasal 33 disebutkan sebagai berikut:
(1) Sistem ekonomi dibentuk melalui kerja sama kolektif yang didasari oleh prinsip kekeluargaan.
(2) Bidang-bidang produksi yang vital untuk negara serta menyangkut kebutuhan dasar masyarakat harus dijalankan oleh pemerintah.
(3) Bumi serta sumber daya alam yang ada di dalamnya dikendalikan oleh pemerintah dan digunakan demi kesejahteraan seluruh masyarakat secara maksimal.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34, disebutkan: “Negara bertanggung jawab untuk merawat fakir miskin serta anak-anak terlantar.”
Oleh sebab itu, model perekonomian yang dikembangkan Bung Hatta bukan merupakan liberalis, kapitalism, ataupun sosialis Marxis yang tidak beragama. Dia merancang sebuah sistem ekonomi sosialisme khas Indonesia yang mengadopsi prinsip-prinsip dari dasar-dasar negara Pancasila. Sehubungan dengan hal tersebut, apabila ada warga bangsa kita yang kurang mampu atau anak yatim piatu, Negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan serta bantuan kepada mereka.
Selain itu, figur Bung Hatta tentunya memberikan contoh yang baik bagi kita semua, terutama pada masa ketika praktek suap menyuburkan, kerjasama tak sehat antar pejabat, serta pemberian keuntungan kepada keluarga sendiri sedemikian merajalela di negara kita hari ini. Apabila ia mengeluarkan keputusan resmi, bahkan sahabat-sahabat dekatnya saja belum tentu mengetahuinya. Misalkanlah simpanan istrinyanya yang awalnya dirancang untuk pembelian mesin jahit harus dibatalkan karena nilai mata uangnya telah anjlok.
Hal ini berhubungan dengan kebijakan moneter pemerintahan Republik Indonesia yang dikenal sebagai “Gunting Sjafruddin.” Ketika itu, Syafruddin Prawiranegara, yang bertugas sebagai Menteri Keuangan RI di bawah Kabinet Hatta II, mengimplementasikan aturan tersebut pada jam 8 malam waktu setempat, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1950.
Berdasarkan peraturan “Gunting Syafruddin”, uang bernama “merah” (yang merupakan uang keluaran NICA atau entitas penjajah Belanda yang ingin mengambil alih kembali RI setelah Proklamasi Kemerdekaan), serta uang De Javasche Bank dengan denominasiRp 5 ke atas, dipotong menjadi dua bagian.
Klip kiri masih dapat digunakan sebagai metode pembayaran yang valid dengan nilai separuh dari nilainya sebelumnya hingga 9 Agustus 1950 jam 18:00 Waktu Indonesia Bagian Tengah. Selanjutnya, antara tanggal 22 Maret sampai 16 April 1950, bagian klip kiri ini perlu dikonversi menjadi uang tunai baru di bank atau lokasi-lokasi yang secara resmi ditetapkan oleh pemerintah. Jika melebihi batas waktu tersebut, klip sisi kirinya akan kehilangan status legalitasnya.
Guntingan di sisi kanan dinonaktifkan namun bisa diganti dengan surat utang negara senilai separuh dari nilainya asli. Surat utang tersebut akan diselesaikan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam jangka waktu empat puluh tahun ke depan dan membawa bunganya tiga persen per tahunnya.
Pada saat itu, pemerintah Republik Indonesia mengimplementasikan kebijakannya untuk meredam krisis dalam kondisi ekonomi negara. Maka tak heran jika negeri ini tenggelam di berbagai permasalahan seperti utang yang semakin membengkak, inflasi yang naik drastis, dan biaya hidup sehari-hari warganya yang menjadi sangat mahal.
Pada saatnya nanti ketika mengumumkan “Gunting Syafruddin”, Nyonya Rahmi sangat kaget sekali. Isteri Bung Hatta tersebut sempat menyuarakan keluhan kepada suaminya. Karena, dana simpanan yang sudah dia kumpulkan selama bertahun-tahun ternyata kurang untuk memboyong mesin jahit impian miliknya.
Itulah Bung Hatta. Meskipun dia adalah seorang politikus, beliau merupakan seorang negarawan.
Apa yang ia pikirkan bukan hanya tentang dirinya sendiri, keluarganya, atau komunitasnya, tetapi lebih kepada masa depan bangsanya dan negerinya.
Kini, menemukan seorang pemimpin seperti Bung Hatta memang bukan hal yang sederhana. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti mustahil untuk dicapai.
Semoga suatu hari nanti, kita selaku bangsa dapat menemukan pemimpin sepertinya. Amin.
*) Dr H Anwar Abbas MM MAg, yang biasa dikenal sebagai Buya Anwar Abbas, menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dia juga merupakan Dosen Tetap Program Studi Perbankan Syariah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, beliau memegang posisi sebagai Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), Pengembangan Masyarakat, serta Lingkungan Hidup dalam Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.