Yudhistira Anm Massardi: Jangan Lupa Bercinta!

 

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Data Kumpulan Puisi

 

Judul buku: Jangan Lupa Bercinta!

Penulis: Yudhistira ANM Massardi

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Cetakan: I, Juni 2020

Tebal: 230 halaman (145 puisi)

Copy-editor: Teguh Afandi

Layout isi: Ryan Pradana

Desain sampul: Orkha Creative

Ilustrasi isi: Freepik

ISBN: 978-602-06-4349-6 (PDF)

 
Jangan Lupa Bercinta! terdiri atas 2017 (23 puisi), 2018-2019 (79 puisi), 2020 (43 puisi)
 
Sepilihan puisi Yudhistira ANM Massardi dalam Jangan Lupa Bercinta!
 
Sajak Bubur Ayam
 
Bubur ayam itu menu paling kaya intervensi: Jangan pakai
bawang, jangan pakai seledri, jangan pakai kacang, jangan …..
Banyakin daun bawangnya. Banyakin kacangnya… Boleh
pakai telor mentah, banyak merica, tambah tongcay, tanpa
cakue… (“Macam sudah mahir kali kau!” kata mitra dari Medan).
Maka pelajaran demokrasi harus dimulai dari tukang bubur
ayam. Biar tumpah semua selera. Biar tumpah segala banyabicara.
Seperti aneka polusi mengotori Jakarta. Seperti semua bunyi
membisingkan pagi sampai malam. Bahkan tukang parkir tak
henti teriak: “Terus…! Terus…! Terus…! Kiri…! Kiri…!” Rasa
aneh terbawa mimpi. Entah apa cita-citanya waktu kecil. Entah
jadi apa pula anak-bininya nanti. Demokrasi bisa bikin aneh siapa
saja. Seperti bubur ayam tanpa ayam. Tapi enak, abnormal!
 
Bandung, September 2019
 
 
Planetarium
 
Di planetarium
Semesta tak berhingga
Kita seperti tak ada
Tata Surya berlayar
Dalam gelap
Putih-biru berputar
Seperti film bisu
Seperti teka-teki
Tanpa waktu
 
Noktah-noktah
Serupa zarah
Dalam manzilah-manzilah
Satu arah
Mengalir seperti darah
Serupa di badan rapuh
Bintang-bintang redup-terperinci
Juga yang tak terbilang
Menuju hilang
 
Kita pun
Entah
Seolah Ada
 
Seperti tak
pernah Ada
 
Jogja, Januari 2020
 
 
Sajak-sajak Semarangan
 
#1
Semarang menitipkan riang terhadap siang
Jika saya tiba, untuk siapakah pulang?
 
#2
Ah, hati girang menjelang Semarang
Apakah Cinta sudah datang di ruang kehadiran?
 
#3
Di Semarang, mimpi tak ingin pulang
Siapakah yang menidurkan tidak yakin?
 
#4
Semarang membiarkan waktu menghilang
Di simpang mana rindu menyeberang?
 
#5
Di Semarang, puisi bergulir dari bukit ke pesisir
Mengapa ombak menyusun rindu jadi bukit karang?
 
#6
Matahari melukis Semarang dengan warna terang
Sampaikah kepadamu jingga yang kukirim dari rasa sayang?
 
#7
Di Semarang, Cinta dan senang berpintu seribu
Maukah kau buka satu untuk meloloskan rindu?
 
#8
Di malam, Semarang jadi negeri kunang-kunang
Apakah kesedihan yang menyalakan ingatan?
 
#9
Laksamana Cheng Ho bicara apa di Kelenteng Sam Poo Kong?
Apakah ihwal yang fana dan abadi, yang dipahatkan pada
kerikil dan dilupakan Waktu?
 
#10
Wingko tebas, lumpia, dan ikan mangut menghidangkan Semarang
di lidah orang
Rasa apakah yang ditinggalkan penumpang di Stasiun Tawang?
 
Oktober, 2017
 
 
Sajak Kisah Cinta
 
Kalau kisah cinta ditulis di bak renang, kemudian rumpun daun
pisang di tepi dinding membungkusnya dan menjemurnya di
atap alang-alang, mungkinkah burung-burung gereja itu mau
membacanya kemudian membuat lagu untuk kedua lelaki renta yang
merokok di balkon itu? Sedangkan suhu di Sentrasari masih
170 dan air panas gres dimasak untuk kopi hitam tanpa gula.
Apakah puisi mesti berenang dahulu biar bisa bercumbu dengan
roman yang masih di angan-angan? Ah, kecipak-kecibung
itu telah seperti suara orgasme, sampai anak-anak menjerit
kedinginan. (“Para Que Sufrir,” kata penyanyi Spanyol dari
Spotify). Dan burung-burung mematuki abjad-karakter yang gres
saja singgah di layar, saat pengarangnya menggosok gigi. Tak
tersisa lagi getar pandangan pertama, meskipun dongeng cinta mampu
melompat ke malam pertama. Tetapi komplotan unggas itu
telah mematuki semua kata Cinta!
 
Bandung, September 2019
 
 
Di Cikini! Di Cikini
 
Setiap bata yang kauhancurkan
Merekam keindahan
Juga kepedihan
Proses penciptaan
Jiwa dan tubuh
Yang menolak dikalahkan
 
Karya seni ialah cermin
Zaman yang berganti
Proposal para seniman
Kepada kuasa yang pongah
Menggugat nurani yang lengah
Karena Waktu tak pernah kalah
 
Genghis, Hulagu, Timurleng
Dikirimkan sejarah sebagai pemusnah
Seni, buku dan risalah binasa
Dan kamu akan terkubur di sana
Dihujat setiap bata yang rebah
Di Taman yang kini tumpas
Mengabadikan yang telengas
 
Di Cikini! Di Cikini
Kini kau akan dikencingi
Hingga ke anak bini!
 
5 Februari 2020
 
 
Jangan Lupa Bercinta!
 
Jangan lupa bercinta!
Sebab rumput dan dedaun menghamili klorofil, dan bunga
bunga melahirkan warna
 
Jangan lupa bercinta!
Sebab matahari masih mencumbu pagi, dan biru melepaskan
selimut langit dan bahari
Angin pun membelai pohonan, dinding dan badan-tubuh
berpeluh.
 
Jangan lupa bercinta!
Sebab jiwa-jiwa terus mengundang rindu yang menyanyikan
Tuhan sejak subuh telanjang
Waktu pun memeluk Cinta sepanjang cakrawala bareng
jingga, sampai batas
menggarisi semua yang tak bisa lepas
 
Jangan lupa bercinta!
Sebab alpa tak bangkit lagi dari kubur kawasan segala tidur
kehilangan mimpi yang menciumi sekujur hidupmu
 
Jangan lupa bercinta!
Sebab Dia pun menginginkannya!
 
Bekasi, Maret 2020
 
 
Melankoli Milenia
 
Apa yang disampaikan Corona
Sesudah kabut
Dan persentuhan yang gegas
Meretas batas?
 
Maut-Tamu-Umat
 
Bumi rapuh
Segala cemas
Takluk pada renik
Segala fana
Takluk pada sunyi
 
Ragam terbenam
Parah harap
Semesta air mata
Basah dalam doa
 
“Di rumah saja!”
 
Bumi pun rehat
Gerak disekat
Emisi lindap
Langit biru
 
Matahari gres
Manusia berganti
Berkisah pisah
Merenda rindu
Anak-anak bersorak
Berseru tanpa seteru
Balkon-balkon menyanyi
Melankoli milenia
Berserah kepada arah
Yang gres ditulis sejarah!
 
Bekasi, Maret 2020
 
 
Sungguh, Ke Mana Usia
 
Sungguh, ke mana usia
Membawa kita
Tanpa peta
 
Hanya ada bau tanah
Di kota-kota senja
Tanpa jeda
 
Waktu mirip dadu
Di meja rolet
Tanpa kartu
 
Hidup hanya permainan
Petak umpet
Tanpa jaga
 
Tapi kelak kita akan berpisah
Meskipun satu arah
Tanpa humpimpah
 
Bekasi, 27 Februari 2020
 
 
65
—untuk Rumah Budaya Tembi
 
Gemilang bulan menyanyikan malam
Tenor dan sopran meninggikan awan
Piano dan biola memainkan Chopin
Walsa dan sonata menarikan usia
Semuanya melukiskan cahaya
Sebuah potret dikala senja
 
“Jangan meminta cermin berkata dusta.”
 
Pagi pun riang sampai siang
Larutkan pahit di cangkir kopi
Hingga hidup terasa elok
Jauh pula ancaman gula
 
“Awas kolesterol dan lemak jenuh,
asam urat dan darah tinggi.”
 
Aneka larangan senantiasa tiba
Seperti gorengan di meja
Menambahkan lezat dalam kalimat
65 tahun perjalanan kalam
 
Kehidupan itu,
Semut beriring
Dari liang ke pohon
Dari akar ke daun
Mewarnai kembang setaman
Menumbuhkan buah di dahan
 
Dan sepiring cita rasa
Dan sekuntum senyum ranum
Dan selembar tikar tabah
Dan sebait doa ke langit
 
“Berhetilah merokok!” katamu lagi
 
Kebahagiaan itu
Semilir angin
Menyentuhkan cuek pada tubuh
Menggerakkan keinginan pada Cinta
Seperti keroncong memorabilia
Dimainkan tiap purnama
 
“Kamu kok ngeyel?
Tak mau ketemu cucu kedua belas?”
 
Ikhlas itu,
Sungai yang berpisah dengan gunung
Awan yang berubah jadi hujan
Dedaun kering rebah di tanah
Seperti desahmu di malam basah
 
“Ah. Terserah!”
 
Pasrah itu,
Cinta yang tidak mendua
Meskipun selalu ada yang pertama
Dan kamu tetap menerima
Buku yang lebih tua
Agar mampu belajar membaca
 
Yo wis, lekas make a wish!”
 
Aku ingin hidup lebih lama
Seperti pohon kelapa
Memberikan sabut dan santan
Melambai kepada pantai
Tidur sehabis janur
 
“Apakah ada komitmen untukku?”
 
Akan selalu kutulis puisi
Untuk setiap mimpimu
Yang menciumi tidurku!
 
“Apakah yang berdenting di kuping?”
 
Detik waktu yang kembali ke era lalu
Mengecup bibirmu mirip dulu
Ketika purnama mengilaukan Cintamu
: Emasku!
 
20 Februari 2018
 
 
Sajak Lebaran Malam
 
Angin malam hinggap di daun
Kabel dan antena tidak berayun
Opor dan rendang sudah ditelan
Suara petasan tidak mau membisu
Satpam lewat berbalik arah
Portal ditutup jadi pengaman
Pesawat menderu di balik awan
Anak-anak berlari menembus malam
Sampai jumpa tahun depan
(Turunkan 4 kilo lagi berat badan!)
 
Bekasi, 5 Juni 2019
 
 
Kematian Itu
—Mengenang DK & AL
 
Yang setia hanya kematian
Yang patuh ialah waktu
Manusia hanya inisial
Bagi Yang Maha Kekal
 
Kenangan mampu bisu, mampu juga lucu
Selebihnya beku, atau berlalu
 
Kita sama-sama ke kubur
Mengalir kepada final
Padahal awal kita tak kenal
Tak pernah ada debat
Tentang mengapa dan di mana
Hanya ada titik
Untuk melanjutkan garis
Garis dari mistar
Mistar Sang Misteri
 
Air mata mungkin sejenis takdir
Bekal perjalanan ke kehilangan
Adapun Cinta hanya penanda
Bagi yang pernah ada
Bagi yang memang ada
 
Kehidupan boleh jadi cuma sial
Bagi yang tidak baka
Kematian boleh jadi cuma tanggal
Bagi yang tak pernah tinggal
 
Akhirnya hanya nisan
Dan bunga layu
Di tanah yang tak dirindu
Sebab yang pilu tak ingin menunggu
Tetapi kita mesti menunggu
Tak peduli terus meragu
 
Bekasi, 2 September 2019
 
 
Sajak Lupa Penyair
 
Ada sajak lupa penyairnya
Sebab beliau melanggar kesepakatan
Tidak jadi ditulis
Sebelum pagi
 
Bekasi, Juni 2019
 
 
Sajak Orang Gila
 
Sebelum mati, ia abnormal
Sebelum aneh, beliau mabok
Sebelum mabok, dia kesurupan
Sebelum itu, beliau masuk bui
Sebelum dibui, beliau masuk tivi
Sebelumnya, dia jadi penista segala
Sebelum itu, dia pernah mati
Sebelum itu, beliau sudah gila!
 
Bekasi, Agustus 2019
 
 
Sajak Jatuh Cinta
 
Cinta itu seperti burung gereja
Tiap pagi bercicit di atas genting
Maka jatuh cinta seperti biru di langit
Memberi putih kepada awan
Seperti air mata kekasih merindu pangkuan
 
Bekasi, 8 Juni 2019
 
 
Sajak Bukit dan Lembah
 
Keindahan itu mirip bahagia
Mengerami air mata
 
Tamasya itu melindungi derita
Seperti desa-desa wisata
Keduanya saling menghidupi
Seperti bukit dan lembah
Bunga dan sayuran
 
Senyum itu mirip kenangan
Datang dari keinginan dan impian
Tentang jalan-jalan kehidupan
Berkelok, naik, dan turun
Bergantung terhadap hujan
 
Nava Hotel, Tawangmangu, Juli 2019
 
 
Sajak Minggu Malam
 
Minggu malam tak ada puisi
Hanya bising pesawat mengedipkan lampu
 
Udara lembab
Polusi menahan panas
Kata-kata menahan napas
Dan asbak mematikan asap
 
Tapi ada denting logam
Para pekerja malam
Dan keringat yang dibawa pulang
Agar anak-bini tidur hening
Mengeloni mimpi jadi uang
 
Hingga sirine ambulans membangunkan jam
Dan malam makin panjang
Menanti kunang-kunang
Yang tidak akan tiba
Seperti era kanak-kanak
Hilang tali kekang
 
Bekasi, September 2019
 
 
Sajak Ngopi Sore
 
Matahari merah becermin di jendela beling
Ketika angin mengirimkan bacin kopi
Kepada burung gereja di kawat baja
 
Dan kamu datang dengan kerudung biru
Melangitkan abu-bubuk
 
“Sore itu tak usah selfie
biarkan saja senja
mengisi gelas kita.”
 
Kita pun mereguk rasa jingga
: Cinta tanpa gula
 
Bekasi, Juni 2019
 
 
Tentang Yudhistira ANM Massardi

Yudhistira Ardi Noegraha Moelyana Massardi lahir di Subang, 28 Februari 1954. Aktif menulis semenjak 1970. Merupaka anak keenam (kembar bersama Noorca M. Massardi) dari selusin bersaudara. Novelnya: Trilogi Arjuna Mencari Cinta (1977), Arjuna Mencari Cinta Part II (1981) dan Arjuna Wiwahahaha…! (1984), Ding Dong (1978), Obladi Oblada (1979), Mencoba Tidak Menyerah (1980, 1996), Joni Garang (1992, 1993), Penari dari Serdang (2019). Kumpulan Sandiwara: Wot atawa Jembatan (1977), Ke (1978), Bisu in Blue (2001), Jangan Sakiti Anakku (2002), Karpet Merah Cleopatra (2003), Sopirku/Opsirku/Korupsi (2005), Tikungan-H (2016). Kumpulan cerpennya: Penjarakan Aku dalam Hatimu (1970), Yudhistira Duda (1981), Wawancara dengan Rahwana (1983), Wanita dalam Imajinasi (1993), Forum Bengkarung (1994). Kumpulan puisinya: Sajak Sikat Gigi (1983), Rudi Jalak Gugat (1982), Syair Kebangkitan (1985), 99 Sajak (2015), Perjalanan 63 Cinta (2017), Luka Cinta Jakarta (2017).

 
 
Catatan Lain

            Sampul belakang buku menampung petikan “Sajak Kisah Cinta”. Halaman persembahan tertulis: “Untuk semua yang kucinta:/Istriku Siska,/Iga, Taya, & Kafka (anak-anakku),/Risa & Eggy (menantu-menantuku),/serta ketiga cucu kesayangan opaki & omani:/Kiara Kuma Fatira, Prisma Tari Cahaya, & Naradipa Abiputra.” Begitu.